Film G30S PKI Bakal Diputar TNI, Sejarawan LIPI: Bagus!
Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam menyambut baik rencana TNI Angkatan Darat untuk memutar kembali film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI. Diyakininya, masyarakat kekinian bakal kritis melihat film itu tanpa perlu disuruh kritis.
"Kalau film itu diputar, menurut saya bagus. Silakan ditonton dan didiskusikan. Tanpa harus dibilangin, orang sekarang juga sudah kritis," kata Asvi saat berbincang, Sabtu (16/9/2017).
Dia kemudian menjelaskan sejarah film yang sempat mendapat status wajib tonton di era Orde Baru itu. Film disutradarai oleh Arifin C Noer, dibikin tahun 1984.
"Biayanya Rp 800 juta, biaya pembuatan film terbesar saat itu, memakai biaya negara," kata Asvi.
Pernah Jadi Film Wajib dan Diprotes Purnawirawan AU
Film itu berdurasi 271 menit dan wajib diputar tiap 30 September, malam hari. Namun pada 1998, fajar reformasi merekah, Presiden Soeharto lengser keprabon. Menteri Penerangan Letjen TNI Yunus Yosfiah di era Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghentikan penayangan film itu di televisi.
"Jadi pada 30 September 1998, film itu tidak ditayangkan lagi karena ada permintaan dari masyarakat untuk menghentikan penayangan itu," kata Asvi.
Yang paling terdepan meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi di televisi adalah Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PPAURI). Permintaan itu disampaikan PPAURI ke Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah dan diteruskan ke Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Yuwono Sudarsono. PPAURI tak berkenan film itu terus diputar karena film itu dirasa menyudutkan mereka.
"Film itu dirasa mendiskreditkan TNI Angkatan Udara," kata Asvi.
Ada kesan di film itu, Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah adalah sarang PKI dan dekat dengan Lubang Buaya yang terletak di Pondok Gede. Padahal lokasi dua tempat itu berjauhan. Singkat cerita, dikabulkanlah permintaan PPAURI. Film itu tak lagi wajib ditayangkan dan ditonton oleh warga Indonesia.
"Karena dulu diwajibkannya nggak pakai surat, maka menghentikannya juga tidak pakai surat. Menghentikannya ya lewat pejabat saja, waktu itu adalah Menteri Penerangan dan Menteri Pendidikan," kata Asvi.
Akurasi: Soal Aidit Merokok dan Peta Timor-timur
Menurut Asvi, kadar akurasi film itu dengan sejarah bisa terlihat dari hal-hal yang sepele. Misalnya penggambaran rapat-rapat PKI digambarkan penuh asap rokok. Sekretaris Jenderal PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit digambarkan sebagai pria perokok.
"Faktanya, DN Aidit itu bukanlah seorang perokok," kata Asvi.
Dalam film nampak pula peta Indonesia. Di situ digambarkan Timor-timur telah masuk Indonesia. Padahal tahun 1965, latar peristiwa yang digambarkan di film, Timor-timur belum masuk Indonesia.
"Mereka nggak sadar. Ini kan tidak akurat. Hal-hal yang kecil-kecil saja sudah tidak akurat, apalagi soal akurasi penggambaran yang sangat sadis di film itu," tutur Asvi.
Adegan Sadis, Anak-anak, dan Operasi Caesar
Di film itu, ada adegan yang sadis dan bernuansa kekerasan. Penggambaran sadis ditampilkan dengan sangat nyata menurut Asvi. Dia mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan kembali apakah film ini layak ditonton anak-anak atau cukup orang dewasa saja yang menonton.
"Kalau saya melihatnya film itu penuh kekerasan dan tidak layak ditonton anak SD," kata Asvi.
Sejak babakan awal, penonton dicengangkan dengan kata legendaris, "Darah itu merah, Jenderal." Asvi jadi ingat komentar kocak kolega perempuan yang selalu ingat menstruasi ketika kata-kata itu sedang didengar.
Namun bukan hanya kesan komikal saja, ada pula akibat psikis mendalam akibat film yang digolongkan sebagai film propaganda itu. Saat Workshop Komnas Perempuan 2006, terungkap cerita ada perempuan hamil di daerah Menteng Jakarta yang tak mau melahirkan anaknya pada 30 September.
"Menurut perhitungan dokter, lahirnya 30 September. Kemudian si ibu minta operasi caesar supaya lahirnya 29 September. Ini bukan sekadar omongan. Ini dampak dari ketakutan 20 September," kata Asvi.
Rencana nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI itu dimunculkan TNI AD merespons pesan berantai WhatsApp Group tentang surat edaran ajakan menyaksikan film sejarah 'G 30 S'. Surat ditujukan kepada para kepala penerangan TNI Angkatan Darat dan ditembuskan ke Kepala Dinas Penerangan AD serta Kepala Subdinas Dispenad. TNI menyambut baik rencana pemutaran film itu sebagai pengingat sejarah dan menghindari upaya pemutarbalikan sejarah.
Asvi menyarankan agar penonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI membandingkan dengan film lain tentang tema yang sama. Misalnya film dokumenter Jagal (The Act of Killing) rilisan 2012 dan film Senyap. Keduanya karya Joshua Oppenheimer.
"Silakan dibandingakan. Silakan ditonton dan didiskusikan," kata Asvi. (dnu/fjp)
Sumber: news.detik.com
Film G30S PKI Bakal Diputar TNI, Sejarawan LIPI: Bagus! |
"Kalau film itu diputar, menurut saya bagus. Silakan ditonton dan didiskusikan. Tanpa harus dibilangin, orang sekarang juga sudah kritis," kata Asvi saat berbincang, Sabtu (16/9/2017).
Dia kemudian menjelaskan sejarah film yang sempat mendapat status wajib tonton di era Orde Baru itu. Film disutradarai oleh Arifin C Noer, dibikin tahun 1984.
"Biayanya Rp 800 juta, biaya pembuatan film terbesar saat itu, memakai biaya negara," kata Asvi.
Pernah Jadi Film Wajib dan Diprotes Purnawirawan AU
Film itu berdurasi 271 menit dan wajib diputar tiap 30 September, malam hari. Namun pada 1998, fajar reformasi merekah, Presiden Soeharto lengser keprabon. Menteri Penerangan Letjen TNI Yunus Yosfiah di era Presiden BJ Habibie memutuskan untuk menghentikan penayangan film itu di televisi.
"Jadi pada 30 September 1998, film itu tidak ditayangkan lagi karena ada permintaan dari masyarakat untuk menghentikan penayangan itu," kata Asvi.
Yang paling terdepan meminta agar film itu tidak ditayangkan lagi di televisi adalah Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara Republik Indonesia (PPAURI). Permintaan itu disampaikan PPAURI ke Mantan Kepala Staf TNI AU Marsekal Saleh Basarah dan diteruskan ke Yunus Yosfiah dan Menteri Pendidikan Yuwono Sudarsono. PPAURI tak berkenan film itu terus diputar karena film itu dirasa menyudutkan mereka.
"Film itu dirasa mendiskreditkan TNI Angkatan Udara," kata Asvi.
Ada kesan di film itu, Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah adalah sarang PKI dan dekat dengan Lubang Buaya yang terletak di Pondok Gede. Padahal lokasi dua tempat itu berjauhan. Singkat cerita, dikabulkanlah permintaan PPAURI. Film itu tak lagi wajib ditayangkan dan ditonton oleh warga Indonesia.
"Karena dulu diwajibkannya nggak pakai surat, maka menghentikannya juga tidak pakai surat. Menghentikannya ya lewat pejabat saja, waktu itu adalah Menteri Penerangan dan Menteri Pendidikan," kata Asvi.
Akurasi: Soal Aidit Merokok dan Peta Timor-timur
Menurut Asvi, kadar akurasi film itu dengan sejarah bisa terlihat dari hal-hal yang sepele. Misalnya penggambaran rapat-rapat PKI digambarkan penuh asap rokok. Sekretaris Jenderal PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit digambarkan sebagai pria perokok.
"Faktanya, DN Aidit itu bukanlah seorang perokok," kata Asvi.
Dalam film nampak pula peta Indonesia. Di situ digambarkan Timor-timur telah masuk Indonesia. Padahal tahun 1965, latar peristiwa yang digambarkan di film, Timor-timur belum masuk Indonesia.
"Mereka nggak sadar. Ini kan tidak akurat. Hal-hal yang kecil-kecil saja sudah tidak akurat, apalagi soal akurasi penggambaran yang sangat sadis di film itu," tutur Asvi.
Adegan Sadis, Anak-anak, dan Operasi Caesar
Di film itu, ada adegan yang sadis dan bernuansa kekerasan. Penggambaran sadis ditampilkan dengan sangat nyata menurut Asvi. Dia mengajak masyarakat untuk mempertimbangkan kembali apakah film ini layak ditonton anak-anak atau cukup orang dewasa saja yang menonton.
"Kalau saya melihatnya film itu penuh kekerasan dan tidak layak ditonton anak SD," kata Asvi.
Sejak babakan awal, penonton dicengangkan dengan kata legendaris, "Darah itu merah, Jenderal." Asvi jadi ingat komentar kocak kolega perempuan yang selalu ingat menstruasi ketika kata-kata itu sedang didengar.
Namun bukan hanya kesan komikal saja, ada pula akibat psikis mendalam akibat film yang digolongkan sebagai film propaganda itu. Saat Workshop Komnas Perempuan 2006, terungkap cerita ada perempuan hamil di daerah Menteng Jakarta yang tak mau melahirkan anaknya pada 30 September.
"Menurut perhitungan dokter, lahirnya 30 September. Kemudian si ibu minta operasi caesar supaya lahirnya 29 September. Ini bukan sekadar omongan. Ini dampak dari ketakutan 20 September," kata Asvi.
Rencana nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI itu dimunculkan TNI AD merespons pesan berantai WhatsApp Group tentang surat edaran ajakan menyaksikan film sejarah 'G 30 S'. Surat ditujukan kepada para kepala penerangan TNI Angkatan Darat dan ditembuskan ke Kepala Dinas Penerangan AD serta Kepala Subdinas Dispenad. TNI menyambut baik rencana pemutaran film itu sebagai pengingat sejarah dan menghindari upaya pemutarbalikan sejarah.
Asvi menyarankan agar penonton film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI membandingkan dengan film lain tentang tema yang sama. Misalnya film dokumenter Jagal (The Act of Killing) rilisan 2012 dan film Senyap. Keduanya karya Joshua Oppenheimer.
"Silakan dibandingakan. Silakan ditonton dan didiskusikan," kata Asvi. (dnu/fjp)
Sumber: news.detik.com