Kisah Heroik Kopassus, Eksekutor Cebongan dan Alm Sertu Santoso, Antara Hutang Jasa dan Jiwa Korsa

Jiwa korsa, bagi prajurit Kopassus memang antara hidup dan mati. Arti jiwa korsa ternyata tidak sesempit yang diramaikan orang. Kisah jiwa korps di Kopassus, cukup mendirikan bulu kuduk dan membuat kita merinding. Dan untuk kasus yang sedang ramai dibicarakan, siapa sangka, jika eksekutor Cebongan pernah berhutang nyawa terhadap (alm) Srt Santoso, seperti yang pernah diumumkan oleh Ketua tim Penyelidikan Kasus Cebongan, Brigjen Unggul K. Yudhoyono, Itu juga karena jiwa korsa yang kuat.

Kisah-Heroisme-Kopassus-Eksekutor-Cebongan-dan-Alm-Sertu-Santoso,-Antara-Hutang-Jasa-dan-Jiwa-Korsa


Fakta yang bisa dirunut dan berhasil dihimpun dari orang-orang terdekat, inisial Serda “U” pernah diselamatkan oleh Sertu Santoso saat satu regu Tim Kopassus, terjebak dalam penghadangan oleh Gerakan Aceh Merdeka yang jumlahnya lebih besar. Mereka juga pernah terlibat dalam pertempuran tidak seimbang antara Tim Kopassus yg jumlahnya hanya belasan orang melawan pasukan Gam yang jumlahnya ditaksir sekitar 70 an orang bersenjata lengkap.

Pratu ” U ” dan Serda Santoso juga pernah bergantian menggendong anggota yang terluka bernama Bowo. Akhirnya pratu Bowo berhasil diselamatkan setelah 2 jam menempuh perjalanan di medan sulit dan berhasil diangkut oleh Helikopter Bolco AURI, waktu itu penerbangnya Lettu pnb Dharma selaku copilot (bisa ditelusuri kepada yang bersangkutan). Mungkin penerbang itu sekarang berpangkat Mayor.

Sebelum menguak kisah jiwa korsa eksekutor Cebongan, ada beberapa kisah jiwa korsa di lingkungan Kopassus yang pernah terjadi, bukan pepesan kosong. Contohnya : Praka Suparlan ( menjadi Pahlawan dan namanya diabadikan menjadi nama Lanud di Pusat pendidikan Kopassus Batujajar). Ia adalah seorang prajurit Komando yang seorang diri menahan gerombolan fretilin demi meloloskan sertu Dudung yg tertembak di paha dan dibopong rekan-rekannya. Mereka berhasil selamat meskipun Suparlan akhirnya gugur dibantai oleh Fretilin karena kehabisan peluru. Kisah Suparlan ini juga diakui oleh Panglima Negara Timor Leste, Mayor Jenderal Lere saat ini.

Ada pula kisah Praka Sutiyono, yang rela mengorbankan nyawa demi keselamatan rekan-rekannya. Dalam operasi pembebasan sandera Mapnduma, sebuah helikopter TNI AD yang berisi 12 orang prajurit Kopassus jatuh dan terbakar. Pada saat jatuh setelah menyambar pohon, para prajurit Kopassus sebagian besar pingsan dan beberapa orang masih hidup. Namun hanya Praka Sutiyono yang masih sehat dan terlempar keluar pesawat. Lalu dengan sisa-sisa tenaganya ia berhasil menyeret keluar satu persatu. Diantaranya yang berhasil selamat adalah Pratu Jayus (sekarang masih hidup berpangkat Serma, dan bisa ditanya langsung). Namun nahas bagi Pratu Sutiyono, saat hendak melepaskan seatbealt copilot, mendadak pesawat meledak dan terbakar. Akibatnya Praka Sutiyono dan 3 orang lainnya ikut tewas di dalamnya. Semua peristiwa itu disaksikan oleh Pratu Jayus yang mengalami patah kaki dan tidak bisa bergerak. Ia pun berhutang nyawa kepada Alm. Pratu Sutiyono.

Kisah lainnya adalah Pratu Heroik (Namanya memang Heroik, tidak dibuat-buat). Dalam suatu kontak senjata, pasca kontak tembak, ia sendirian mencari rekannya yang terluka. Setelah rekannya berhasil ditemukan, seorang diri dia berusaha memanggul rekannya yang terluka, namun malang, seorang anggota GAM yang masih hidup memuntahkan peluru ke arah Pratu Heroik. Ia tewas seketika. Sementara rekannya yang terluka justru hidup sampai sekarang.

Masih banyak kisah-kisah lain tentang jiwa korps yang pernah dialami oleh prajurit Kopassus. Nah, sekarang bagaimana kisah Sersan “U” tentang jiwa korsa dan heroisme.

Pada periode antara tahun 2002 sd 2003, Pratu “U”, masuk dalam Tim penugasan sebagai anggota Tim Sus, Detasemen Tempur Khusus, untuk melibas Gerakan Aceh Merdeka. Menurut catatan pada waktu itu kekuatan Gerakan Aceh Merdeka kurang lebih 8000 orang dengan senjata kurang lebih 5000 pucuk. Tim Sus, dengan persenjataan lengkap diberangkatkan ke Aceh untuk melaksanakan tugas. Sebelum berangkat, seluruh anggota tim menandatangani pernyataan : “Siap untuk menang, berhasil dalam tugas atau mati pulang tinggal nama”. Meskipun sebagian diantara mereka sudah berkeluarga, penandatanganan itu tidak pernah disampaikan kepada istri masing-masing. Berangkatlah Tim menuju ke Aceh.

Dalam suatu pertempuran pertama, Tim berhasil menewaskan 7 orang Gerakan Aceh Merdeka. Pada kisah berkutnya, pernah suatu ketika, rombongan Pratu “U” dihadang oleh gerombolan GAM di daerah Krueng Jawa, Aceh utara. Waktu itu prajurit satu “U” adalah seorang pengemudi Defender pembawa AGL (Automatic Granade Launcher), senjata andalan Kopassus. Penghadangan yang dipersiapkan oleh puluhan anggota GAM, terhadap beberapa orang personel Kopassus itu tetap saja, membuat satuan kecil itu keteteran. Belasan personel Kopassus masuk ke dalam Killing Ground musuh. Mereka bertahan mati-matian diantara kendaraan dan sebagian keluar dari kendaraan untuk membalas tembakan terhadap musuh. Pertempuran antara kelompok Gerakan Aceh Merdeka dengan beberapa personil Kopassus itu seharusnya dimenangkan oleh GAM. Namun dengan adanya perlawanan sengit dan tembakan yang lebih terbidik, kelompok GAM mulai terdesak. Sementara Pratu “U” yang berada di kendaraan paling depan, berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan. Ia terus dihujani tembakan. Bahkan sebuah bom meledak di tengah jalan, meskipun tidak berhasil melukai prajurit Kopassus.

Dalam kondisi terjepit seperti itu, muncullah satu regu pimpinan Serda Santoso untuk memperkuat kedudukan Tim Kopassus. Rencananya memang hari itu dua kendaraan yang berisi satu tim prajurit Kopassus akan memperkuat regu yang dipimpin oleh Serda Santoso. Sehingga kedatangan regu Serda Santoso sangat membantu posisi tim Kopassus yang sedang dihadang musuh.

Dalam lindungan tembakan dari kelompok Serda Santoso dan beberapa anggotanya, pratu “U” berhasil ditarik keluar dari kendaraan agar tidak terus menerus menjadi sasaran tembakan. Akhirnya karena perlawanan yang kuat dan tambahan perkuatan dari Serda Santoso Tim Kopassus berhasil memaksa GAM mundur dari kedudukannya. Mobil memang penuh dengan lubang peluru. Karena perlawanan sengit, kelompok Gerakan Aceh Merdeka akhirnya meninggalkan tempat penghadangan. Konon, tim penghadang sudah menunggu di sekitar lokasi itu selama beberapa hari. Hal ini bisa diketahui dari bekas2 bivak dan bahan makanan yang mereka masak untuk menghadang pasukan TNI.

Kisah berikutnya adalah peristiwa kontak tembak antara tim Kopassus (Regu Alm. Serda Santoso dan anggotanya diantaranya Pratu “U”) dengan Personel Gerakan Aceh merdeka di Aceh Utara, di wilayah sekitar Tanah Luas. Setelah bergerak selama kurang lebih 9 hari tim Kopassus akhirnya berhasil menemukan sebuah Kamp gerakan Aceh Merdeka. Jumlah kelompok itu tidak tanggung-tanggung, kurang lebih 200 orang. Jumlah itu diketahui dari jumlah barak dan keterangan dari simpatisan mereka.

Pada sore hari sebelumnya, tim Kopassus akan menyeberang sebuah sungai selebar 75 meter. Menurut informasi, musuh berada di seberang sungai Biram. Sungai itu cukup lebar, namun dangkal. Karena habis hujan deras pada siang harinya, aliran sungai menjadi deras. Penyeberangan diurungkan karena sungai masih terlalu deras. Keputusan menunda penyeberangan, rupanya sebuah keputusan yang tepat karena, pasukan Gam berjumlah seratusan orang sudah menunggu di seberang sungai, siap menghabisi kelompok Kopassus. Pada keesokan harinya, rencana penyeberangan akan dilanjutkan dengan titik penyeberangan yang berbeda. Pasukan Tim Kopassus kembali mencoba menyeberangi sungai. Pada saat kelompok itu mendekat ke arah sungai, kelompok tim Kopassus langsung menerima tembakan salvo pertama, disusul tembakan gencar dari pinggir sungai.

Pada saat itu, kelompok pratu “U” bersama-sama dengan Serda Santoso berada di depan, sebagai tim pertama yang akan menyeberang. Posisi itu sungguh sangat sulit. Satu regu pasukan di depan itu mendapat tembakan yang sangat gencar dari musuh. Serda Santoso dan Pratu “U” harus berjuang mati-matian saling melindungi untuk menahan tembakan dari musuh. Nahas bagi Pratu Bowo, karena tembakan dari musuh mengenai pantatnya. Pratu bowo terluka parah. Pasukan depan itu terus mendapat tembakan dari musuh. Pada saat itu memang situasi sangat sulit dan kurang menguntungkan bagi tim terdepan. Tembakan yang sangat padat, memaksa tim berlindung dalam kubangan-kubangan air di tepi sungai, diantara rerimbunan pohon coklat.

Pada saat itu, tim lain yang berada tidak jauh dari tempat itu segera merapat dan membantu membalas tembakan, termasuk melempar granat dengan granat pelontar dan sempat pula ditembakkan senjata Armbrush. Setelah bunyi Armbrush yang menggelegar baru musuh mulai mengurangi tembakannya.

Kesempatan itu digunakan oleh Serda Santoso bersama beberapa anak buahnya untuk memberikan pertolongan kepada Pratu Bowo yang mengalami luka tembak. Rupanya lukanya Pratu Bowo cukup parah. Luka tembak menganga sebesar botol aqua itu, membuat korban sangat menderita. Serda Santoso dengan susah payah bersama anggota lainnya, trmasuk pratu “U” secara bergantian, menggendong pratu Bowo untuk dievakuasi ke tempat yang aman. Untuk menjauh dari tempat itupun mereka masih bersusah payah karena masih dikejar oleh tembakan musuh. Sebagaimana diceritakan oleh anggota yang lainnya, Pratu Bowo sempat disuntik morfin dan setelah itu diberi buah mundu yang ditemukan di sekitar tempat itu. 

Kejadian itu dilaporkan ke Pos Komando Taktis. Pos kotis segera mengirimkan heli evakuasi. Medan yang sulit dan jumlah musuh yang cukup besar membuat evakuasi menjadi tidak mudah. Sementara tugas menghadapi kelompok Gerakan Aceh Merdeka diambil alih oleh Tim lain, regu Serda Heru Santoso, melanjutkan evakuasi terhadap korban luka. Dalam evakuasi itu, Pratu Bowo, diangkut dengan ponco dan sarung sambung yang diikat.
Diantara tembakan musuh dan medan-medan terjal yang licin, tim evakuasi yang hanya terdiri dari beberapa orang itu terus bergerak meninggalkan arena pertempuran. Mereka saling bergantian, yang tidak mendapat giliran memikul korban, berjaga-jaga di depan dan dibelakang. Medan yang sangat berat, ditambah perawakan Pratu Bowo yang tinggi besar membuat gerakan mereka sangat lambat, tetapi sekelompok pasukan kecil itu, tertatih-tatih menjauh dari daerah pertempuran. Korban yang masih berteriak-teriak karena lukanya, tidak begitu dihiraukan, yang penting segera menjauh dari pertempuran. 

Setelah agak jauh dan aman. Pratu bowo, diturunkan. Salah seorang anggota mengeluarkan peralatan kesehatan lapangan dan memberi suntikan morfin untuk mengurangi penderitaan korban. Bahkan pada saat itu, salah satu anggota memberi pratu Bowo buah mundu, karena memang pasukan juga kekurangan bekal makanan. Buah mundu itu diambil tidak jauh dari tempat itu. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam, tim menemukan titik yang dianggap aman untuk pendaratan heli.

Di tempat itulah mereka menunggu. Dalam kondisi hujan gerimis, akhirnya Pratu Bowo berhasil dievakuasi dan selamat hingga saat ini.

Ini adalah sepenggal kisah sebuah Unit Tim Kopassus daerah pertempuran. Sebuah kisah nyata yang dihimpun dari saksi-saksi hidup dan para Prajurit, rekan-rekan almarhum Sertu Santoso dan eksekutor berinisial “U”. Suatu kisah prajurit Kopassus di lapangan. Artinya begitu dalam dan menyentuh. Karena jiwa Korsa bagi prajurit Kopassus bisa berarti antara hidup dan mati.



sumber : unik.kompasiana.com